RUANG KHUSUS IKLAN (content di luar tanggung jawab bukulaela)

Korban Perasaan: Ajakan untuk Peduli

Friday, April 13, 2007

Note: artikel ini pernah dikirim ke suatu media massa entah apa, tapi tentu saja tdk dimuat, hehe......

by: Hief
Dulu, ketika menjelang lebaran Idul Qurban, atau jika menyebut-nyebut tentang kurban, ada sebuah jargon yang begitu populer, korban perasaan. Sebegitu populernya jargon (yang cukup ironis namun bermakna) ini di masa lalu,


hingga anak kecil pun ikut-ikutan menghafalnya, menanamkannya dalam benaknya yang murni dan kecil, meski tanpa makna dan pengertian. Ia hanya sekedar merekam.
Saya adalah salah satu di antara berlaksa anak kecil yang meresapkan jargon tadi. Dan baru sekarang-sekarang ini, ketika kita merayakan Idul Qurban pada abad milenium yang supercanggih ini (meski menimbulkan ironi-ironi: peperangan dan bencana semakin marak saja) saya mengingati kalimat itu kembali. Dan, tiba-tiba saja saya menemukan sebuah makna dan pengertian baru dalam kalimat itu, dengan konteks yang aktual: dan lewat tulisan ini saya hendak berbagi dengan Anda, pembaca.
Makna kurban
Hari-hari belakangan ini, ada sebuah iklan ajakan berkurban yang didukung oleh sebuah produk minuman suplemen, yang terkenal dengan slogan kurban dua milyar. Dalam iklan yang sering diputar di layar teve tersebut, ada seorang da'i yang menerangkan, kurang lebih isinya begini: kurban, artinya dekat. Marilah kita berkurban, untuk mendekatkan diri dan meraih cintanya. Kurban bukan kebutuhan fakir miskin, kitalah fakir miskin sebenarnya. Fakir ridlonya, miskin cintanya. Segeralah berkurban, raihlah cintanya.
Dari iklan yang saya pikir cukup merasuk dalam benak masyarakat awam sekalipun, orang akan mempunyai pengertian yang lebih dalam tentang kurban—dan tidak terlalu konvensional: kurban bukan sekedar acara orang kaya ramai-ramai potong kambing atau sapi, tapi sebagai sebentuk kepedulian kepada orang yang papa, kepada rakyat jelata. Dan ruh dari kepedulian itulah yang akan ‘sampai’ kehadirat Allah, yang kita harapkan ridlo dan cinta-Nya. Sebagaimana sebuah teks yang saya baca pada sebuah lembaran Jum’at: Bahwa sesungguhnya bukanlah darah dan daging hewan kurban yang mencapai ridlo-Nya, akan tetapi keikhlasan dan niat tulus untuk berbagi dengan kaum papa dan jelata.
Namun, ada yang masih kurang dari iklan tadi. Karena yang digambarkan di sana masihlah orang kaya, yang trenyuh dengan keadaan orang-orang miskin di daerah slum (kaum miskin kota), dari mercedesnya ia memandangi kaum miskin itu dengan kornea berkaca-kaca. Memang bisa diasumsikan bahwa tujuan iklan ini adalah menggugah golongan menengah atas Indonesia (yang jumlahnya saya kira semakin meningkat saja) akan sebuah nilai kepedulian sosial, kepedulian sosio-religius. Dan ini pun sesuai dengan ajaran agama, bahwa kurban adalah hanya untuk yang mampu saja. Namun, ada satu hal yang bermain-main di benak saya: bagaimana jika kita tidak mampu?
Ajakan untuk Berempati
Jawaban dari pertanyaan tadi, ternyata dengan cerdas dijawab oleh jargon yang populer di masa lalu yang saya sebut di awal tulisan: yaitu korban perasaan. Bukankah ini semacam ajaran atau ajakan untuk berempati? Untuk mengorbankan—mendekatkan—perasaan dengan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekeliling kita? Semacam ajakan untuk peduli dengan kondisi bangsa yang semakin carut-marut saja, ajakan untuk peduli pada rencana ugal-ugalan serangan Amerika terhadap Irak, terhadap kenaikan BBM dan tarif listrik yang membuat taraf hidup sebagian besar rakyat kita semakin terpuruk, pendek kata, ajakan untuk peka terhadap segala hal yang bisa menyentuh perasaan kita.
Saya pikir, aspek perasaan inilah yang sudah hampir dilupakan dan dilalaikan oleh bangsa kita. Mungkin karena muak, capek atau memang acuh tak acuh, tapi sebagian rakyat bangsa ini mulai kebal dan tidak peduli dengan keadaan yang ada. “Biarkanlah elit-elit itu saja yang bermain!” demikian kira-kira pikiran mereka. Dengan derasnya jor-joran media tentang berbagai hal, mulai demo-demo yang membludak akhir-akhir ini, hingga kriminalitas yang semakin absurd (contohnya kanibalisme Sumanto—motifnya ingin kaya!), manusia malahan terbiasa untuk menebalkan perasaannya. Untuk meminimalisir kepekaan yang pada dasarnya sudah menjadi kodrat hati nurani.
Betapa tidak? Dengan berbagai peristiwa yang menrenyuhkan, yang tak henti-hentinya menyerbu ruang batin kita, memang akan begitu menyiksa perasaan yang peka. Setiap saat kita akan mengelus dada. Setiap saat kita akan shock, tertegun dan tak bisa berbuat apa-apa menyaksikan segala kekerasan dan kekejaman yang terjadi.
Yang menjadi masalah di sini, adalah adanya ketimpangan kepekaan dalam masyarakat kita. Jikalau masyarakat miskin—yang adalah sebagian terbesar bangsa kita—sudah terasah kepekaan dan empatinya terhadap segala kesedihan dan ketidakadilan, ternyata kepekaan ini tidak dimiliki oleh kalangan elite, entah itu elite politik, elite ekonomi, elite militer, bahkan elit agama. Kalangan elite ini—entah mengapa—seperti gagu dan pekak dalam menghadapi keadaan yang sudah begini amburadul. Bukannya tanggap dan segera menyelesaikan persoalan-persoalan urgen, Mereka malahan asyik mengurusi diri sendiri: elite pemerintahan sibuk ‘cakar-cakaran’ di kursi kekuasaannya, elite ekonomi sibuk dengan urusan saham yang gonjang-ganjing, elite agama sibuk dengan fatwa-fatwa yang utopis dan tidak membumi. Kepekaan para elite ini tumpul—bahkan mati—tatkala memandang kondisi bangsa ini. Kebijakan yang mereka keluarkan bahkan tidak mengandung sense of crisis, kesadaran akan krisis yang masih saja terjadi. Keberpihakan pada rakyat jelata semakin menipis, bahkan sirna.
Yang berbahaya adalah, ketika masyarakat kecil, yang masih mempunyai empati dan mau berbagi perasaan dengan tulus, merasa mutung (patah arang) dengan ketidakpedulian ‘para atasan’ tersebut. Rakyat kecil akan ikut-ikutan kebal, tumpul, dan apatis perasaannya, sebab kepekaan yang mereka punyai tidak mendapat sambutan dari pelaku kebijakan. Sikap berbagi rasa akan menjadi suatu hal yang sia-sia. Jikalau ini dibiarkan dan tidak menjadi agenda bersama, niscaya tidak lama lagi bangsa ini akan menjadi bangsa yang individualis, asyik dengan urusan dan kesejahteraannya sendiri. Apakah kita rela menjadi bangsa yang jauh dari kasih sayang, jauh dari ridlo Tuhan, bahkan mendapat azab dari-Nya?
Mari Gaungkan Rasa Saling Berbagi
Agar kondisi bangsa ini pada khususnya maupun kondisi dunia pada umumnya tidak menjadi semakin parah, kita perlu bersama-sama menggaungkan sikap saling berbagi ini. Kita—sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing—perlu berkorban, mengorbankan perasaan, mau berempati, mengorbankan kesenangan dan urusan pribadi, demi kesejahteraan rakyat keseluruhan. Kaum elite musti berintrospeksi, sudahkah mempunyai kepekaan terhadap rakyat jelata dan orang yang tertindas, sudahkah mau sekedar menyisihkan urusan sendiri untuk berbagi empati dengan sesama. Setelah itu, mereka musti menindaklanjuti dalam karya nyata, dengan menjalankan pemikiran dan kebijakan-kebijakan yang memihak orang kecil. Memihak mereka yang terpuruk oleh kemiskinan dan keterbelakangan.
Kaum kebanyakan pun perlu membangkitkan lagi empatinya, bersama-sama menjadi pressure group (kelompok penekan) agar kesadaran berempati ini tidak seumur jagung, atau sekedar menjadi trend selintas sebagai lips service saja. Kita perlu selalu saling mengingatkan, bahwa nasib bangsa ini amat tergantung dari kepedulian segala lapisan masyarakat.
Jikalau ajakan untuk berempati ini mendapat sambutan luas, dan berujung pada tindakan-tindakan yang mengandung sense of crisis, niscaya pelan-pelan keadaan bangsa ini akan membaik. Ikatan rasa di antara elemen-elemen bangsa pun akan semakin kuat, sebagai satu kesatuan yang saling menunjang dan membantu.
Dengan demikian, dalam suasana Idul Qurban ini, kita akan mendapat satu hikmah yang amat mendalam: ajakan untuk mau berkorban perasaan, mau berempati. Mau meluangkan sedikit pojok hati untuk derita sesama. Semoga dengan demikian, sekecil apapun peran kita, bangsa ini dan segenap elemennya akan mendapat ridlo dan kasih sayang-Nya. Mendapat cinta-Nya. Amin.

3 comments:

Riana Ambarsari said...

Mas Ode, mau pesen buku ngemailnya ke laelamajania@yahoo.com bukan? Mau pesen neeeh...
thanks ya...

Ode Hief said...

iya, silakan email ajah...

Riana Ambarsari said...

mas, udah ngemail gak bisa tuh. Emailnya balik (bounce). aku japri aja ya..